Saturday, September 29, 2007

Tibakno...Tiba'an (jare Supali)

sedikit kutipan dari milis JIL di islamliberal@yahoogroups.com

-----------------------------------------------------------------------------------
Ulil Abshar A :

(3) Doktrin bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi akhir zaman. Doktrin ini jelas
"janggal" dan sama sekali menggelikan. Setiap agama, dengan caranya
masing-masing, memandang dirinya sebagai "pamungkas", dan nabi atau rasulnya
sebagai pamungkas pula. Doktrin ini sama sekali kurang perlu. Apakah yang
ditakutkan oleh umat Islam jika setelah Nabi Muhammad ada nabi atau rasul
lagi?

Komentar Saya :

Allah Ta'ala berfirman :

"*Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara
kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan khaataman nabiyyin (penutup
nabi-nabi). Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu*" [QS. Al-Ahzab
33:40]

Tentang istilah *khaatamun nabiyyin* ada dua pembacaan sebagai berikut :

1. *Khaatimun Nabiyyin*, artinya "*penutup* para nabi".
2. *Khaatamun Nabiyyin, *artinya "*cincin stempel* para nabi".

Ahmadiyah Qadiyan berpandangan bahwasanya Nabi Muhammad SAW bagaikan jari
istimewa yang menggunakan cincin stempel --tidak seperti nabi-nabi lainnya
-- , bukan Nabi terakhir, melainkan Nabi yang paling mulia.

Kalau seandainya konsisten terhadap makna "*khaatamun Nabiyyin"* itu adalah
"cincin stempel para nabi", maka kenapa mereka mengartikan para nabi sebagai
jari (bukan cincin) !!!. Bukankah cincin stempel tersebut berfungsi sebagai
segel (penutup), dan hal ini sesuai dengan makna dari akar kata "*kha ta ma"
* yaitu penutup.

Sebenarnya makna "*khaatamun nabiyyin"* diperjelas melalui sabda Rosul
shalallahu'alaihi wa sallam :

"*Sesungguhnya akan datang kepada umatku pendusta yang jumlahnya 30 orang,
mereka semua mengaku sebagai Nabi, sedangkan aku adalah penutup para Nabi
dan tidak ada Nabi sepeninggalku* " [HR. Ahmad V/278, Abu Daud no. 4252, Ibnu
Majah no. 3952, At-Tirmidzi, *Shahih* berdasarkan kriteria Imam Muslim]

Kemudian hadits lain :

"Bani Israel dipimpin oleh para nabi. Jika seorang nabi meninggal dunia,
seorang nabi lain meneruskannya. Tetapi tidak ada nabi yang akan datang
sesudahku; hanya para khalifah yang akan menjadi penerusku." [HR. Bukhari]

"*Aku memiliki 5 nama, aku Muhamamd, aku Ahmad, aku al-Maahi yang melalui
perantaraanku Allah menghapus kekufuran, aku al-Haasyir yang manusia
dikumpulkan dihadapanku, aku al-'Aaqib (terakhir / penutup) *" [HR. Bukhari
no.3532, Muslim no.2354, Tirmidzi no.2840].

Salam,
Endra Hendrawan

---------------------------------------------------------------------------------

ternyata ada jawaban yang melegakan dari Mas Endra Hendrawan (endrahendrawan@gmail.com)

saya juga agak aneh dengan Mas Ulil.

Beragama secara sosial, sebetulnya, menyalahi sejarah kelahiran agama itu sendiri. Hampir sebagian besar agama lahir karena sikap yang resisten terhadap praktek sosial yang ada. Dengan kata lain, sejarah kelahiran agama adalah sejarah penyimpangan dari norma yang berlaku. Sejarah agama adalah sejarah "kekafiran", yakni kekafiran terhadap kebiasaan yang ada pada suatu waktu.

Lantas, kalau semua sudah sesuai dengan yang dikehendaki Tuhan, perlu sebuah proses dekonstruksi lagi, resisten terhadap pola yang sudah terbentuk sekarang. Artinya, perlu ada agama baru lagi dengan kekafiran terhadap apa yang ada sekarang? Lha? Kok malah lomba rombak-rombakan, kapan mapan'e? Bwehehehe...kami kok diajak mungkir...
Klo tatanan sudah dianggap baik dan stabil apa mesti digusur lagi? Katakanlah anda gak setuju dengan praktek sosial yang ada sekarang tapi apa perlu harus maen gusur lagi? Lha? Trus mana praktek toleransi dan liberal yang sampeyan jadikan pegangan? Kok malah jadi fundametalis anti Islam?

Kata dan saran Mas Ulil, "Beragama itu personal-eksistensial"

Lakukan aja sendiri apa yang kmu anggap bener, ojo melu-melu, opo maneh ajak-ajak melu-melu.

Lha? Sampeyan dewe opo ndak dakwah ajak-ajak melu-melu proses destruktif otak-otak yang, menurut sampeyan, "buntut para fuqaha". Klo memang ada beberapa doktrin yang kurang perlu dalam Islam, lantas kenapa harus ngomong besar dan panjang lebar klo pilihan sampeyan, ya itu tadi, personal-eksistensial? Lha ini pilihan kami untuk menjalani Islam, sebagai tatanan sosial bukan sekedar label religi aja, kok sampeyan kebakaran jenggot..?

No comments: